Kamis, 03 November 2016

riview jurnal autekologi

AUTEKOLOGI PURNAJIWA (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn. (FABACEAE) DI SEBAGIAN KAWASAN HUTAN BUKIT TAPAK CAGAR ALAM BATUKAHU BALI


1.      Latar Belakang
Purnajiwa adalah salah satu tumbuhan obat yang hidup di hutan dataran tinggi Bali. Tumbuhan ini dipercaya oleh masyarakat Bali memiliki khasiat sebagai aprodisiak. Kini keberadaannya di alam semakin terancam karena over-eksploitasi dan kerusakan habitatnya di alam. Cagar Alam Batukahu adalah salah satu habitat Purnajiwa yang masih tersisa.
Umumnya purnajiwa tumbuh mengelompok di hutan sekunder dan lereng gunung dengan ketinggian antara 1.000-2.000 m dpl. Purnajiwa dapat pula dijumpai di kawasan lainnya di Asia, seperti di India, Filipina, dan di Indonesia tersebar di Sumatera, Jawa dan Bali (Lemmens dan Bunyapraphatsara, 2003).
Pengambilan jenis ini di alam yang berlebihan tanpa diimbangi upaya konservasi dan budidaya yang memadai mulai mengancam keberadaan populasinya di alam. Melestarikan suatu jenis tumbuhan yang terancam punah adalah salah satu tujuan dari konservasi. Untuk melindungi spesies yang rentan terhadap kepunahan, diperlukan pemahaman mengenai aspek ekologis spesies tersebut. Akan tetapi informasi mengenai ekologi untuk spesies yang terancam punah masih sangat sedikit (Hobbs dan Atkins, 1990; Lesica, 1992; Zobel, 1992). Upaya konservasi tumbuhan seharusnya dimulai dengan penelitian lapangan mengenai autekologi jenis tersebut sebelum beranjak pada kegiatan budidaya.

2.      Masalah
Setiap spesies memiliki apa yg disebut ‘ecologic individuality’ atau kebutuhan relung hidup yang spesifik, dapat diduga bahwa tiap detil perubahan dalam komposisi spesies atau vegetasi dari suatu tempat ke tempat lainnya kemungkinan menunjukkan adanya beberapa perbedaan faktor-faktor lingkungan. Dengan demikian autekologi dengan analisis kuantitatif dapat mengungkap adanya hubungan atau korelasi antara faktor lingkungan dengan komposisi vegatasi dan keberadaan suatu spesies tertentu di suatu habitat (Daubenmire, 1968; Loewen et al., 2001).



3.      Metodologi
a.      Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilakukan pada Bulan November 2006 di awal musim penghujan di kawasan Hutan Bukit Tapak, Cagar Alam Batukahu tepatnya di Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali. Cagar alam ini terbagi menjadi tiga kawasan hutan yaitu : Batukahu I (Bukit Tapak), Batukahu II (Bukit Pohen) dan Batukahu III (Bukit Lesong). Topografinya berbukit dengan ketinggian antara 1.860-2.089 m dpl. Area ini termasuk dalam kategori iklim A berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson dengan rata-rata curah hujan 2000 mm/tahun dan suhu udara berkisar antara 11-24 ° C.
b.      Pengambilan sampel
Metode pengambilan data secara purposive sampling dengan menjelajahi kawasan untuk mencari populasi purnajiwa. Pengambilan sampel dilakukan dengan membuat plot ukuran 1 x 1 m. Data-data yang diambil berupa jumlah individu purnajiwa, jumlah yang sedang berbunga dan berbuah, kondisi vegetasi tumbuhan bawah berupa anakan pohon, perdu maupun herba serta diamati juga beberapa faktor lingkungan seperti pH tanah, ketinggian tempat, kemiringan lahan, ketebalan seresah dan intensitas penyinaran (Loewen et al., 2001).
4.      Hasil penelitian
Dari hasil penelitian diperoleh 6 kelompok populasi purnajiwa dengan jumlah individu sebanyak 46.  (Tabel 1). Data kelompok sampel pengamatan purnajiwa
Populasi
Jumlah individu
Jumlah yang berbunga
Tinggi rata-rata (cm)
Lingkar batang (cm)
1
10
1
71
3
2
2
1
46
2,5
3
10
2
39,5
2,5
4
8
2
71
3
5
11
1
59,5
2,5
6
5
1
71,5
2,5

            Tabel 2. Kondisi fisik lingkungan di sekitar habitat purnajiwa di Bukit Tapak Cagar Alam Batukahu
No plot
Ketinggian tempat(mdpl)
pH tanah
Ketebalan seresah (cm)
Kemiringan lahan (%)
Intensitas cahaya(%)
1
1280
6,8
3
20
55
2
1300
6,7
8
30
35
3
1310
6,7
7
40
40
4
1295
6,7
7
45
50
5
1290
6,7
7
50
55
6
1290
6,7
3
55
65








Melestarikan organisme di habitat alaminya adalah best practice jika memungkinkan akan tetapi situasi terus berubah dengan semakin nyatanya perubahan iklim serta meningkatnya aktivitas manusia di kawasan hutan untuk mencari berbagai hasil hutan seperti untuk kayu bakar, humus, tumbuhan anggrek, paku dan juga termasuk purnajiwa untuk tujuan komersil sehingga mengancam keberadaan jenis ini di alam. Dalam kasus seperti ini, konservasi secara ex situ harus mulai diterapkan, sehingga jumlah maksimal variasi genetik pada jenis yang masih ada bisa diselamatkan dan memberikan kesempatan untuk bertahan hidup (Anonim, 1989).

5.      Kesimpulan
Purnajiwa ditemukan pada tempat yang ternaungi diantaranya adalah di bawah pohon Laportea sp., Ficus sp., Syzygium zollingerianum, dan Sauraria sp. dengan intensitas penyinaran antara 55-65%. Tumbuh pada kemiringan tanah antara 20-55 % serta ketebalan seresah 3-7 cm dengan pH tanah berkisar antara 6,7-6,8. Sebanyak 16 jenis tumbuhan bawah hidup bersama purnajiwa diantaranya yang cukup dominan adalah Diplazium proliferum (INP = 54,6) dan Oplismenus compositus L. (INP = 40). Populasi purnajiwa di sebagian kawasan hutan Bukit Tapak secara umum masih cukup baik, namun intensitas masyarakat memasuki kawasan hutan ini harus menjadi perhatian apabila menghendaki kelestarian biodiversitas tumbuhan pegunungan, termasuk jenis purnajiwa ini. Kegiatan konservasi ex-situ disarankan menjadi salah satu alternatif solusi untuk menyelamatkan populasi purnajiwa.

6.      Komentar
Menurut saya setelah membaca dan review jurnal Autekologi Purnajiwa di sebagian kawasan hutan bukit tapak cagar alam Batukahu, dalam topic permasalahan yang di jadikan penelitian sangat bagus, karena sanagt jelas konsep ekologi dimana adanya hubungan interaksi organism dengan lingkungannya. Dalam jurnal ini dilakukan penelitian bagaimana interaksi organiswa Purnajiwa dengan lingkungan sekitar yaitu adanya pengaruh intensitas cahaya, kemiringan lahan, ketinggian tempat di atas permukaan laut dan bahkan pH tanah.
Namun, menurut saya jurnal ini kurang dalam penjelasan metodologi atau tahap-tahap dalam penelitiannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar